Kesetiakawanan Sosial
Menurut W.J.S. Poerwodarminta dalam kamus Bahasa Indonesia,
‘kesetiaan’ berasal dari kata dasar ‘setia’ yang berarti “tetap dan teguh hati
(dalam keluarga, persahabatan).”
Misalnya walaupun telah sekian lama suaminya merantau, ia tetap setia (tetap teguh hati) menunggu. Istilah setia berarti pula “patuh dan taat (pada peraturan, kewajiban).” Misalnya, bagaimanapun berat tugas yang harus dijalankan, ia tetap setia (patuh dan taat) melakasanakannya. Istilah setia juga diartikan “berpegang teguh (dalam pendirian, janji).” Misalnya, walaupun hujan turun dengan lebatnya, ia tetap setia (berpegang teguh) memenuhi janji pergi ke rumah kawannya.
Misalnya walaupun telah sekian lama suaminya merantau, ia tetap setia (tetap teguh hati) menunggu. Istilah setia berarti pula “patuh dan taat (pada peraturan, kewajiban).” Misalnya, bagaimanapun berat tugas yang harus dijalankan, ia tetap setia (patuh dan taat) melakasanakannya. Istilah setia juga diartikan “berpegang teguh (dalam pendirian, janji).” Misalnya, walaupun hujan turun dengan lebatnya, ia tetap setia (berpegang teguh) memenuhi janji pergi ke rumah kawannya.
Kesetiaan adalah sikap teguh pada pendirian dan taat pada
janji, aturan atau nilai-nilai yang sudah disepakati bersama.
|
A. Kesetiakawanan
Kesetiakawanan adalah perasaan seseorang yang bersumber dari
rasa cinta kepada kehidupan bersama atau sesame teman sehingga diwujudkan
dengan amal nyata berupa pengorbanan dan kesediaan menjaga, membela, membantu,
maupun melindungi terhadap kehidupan bersama.
B. Kesetiakawanan Sosial
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah
merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh
karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani bangsa Indonesia yang
tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran,
keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari
masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban
demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.
Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera.
Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera.
Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan
sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan
diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita.
Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia.
Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia.
Definisi diatas seolah mudah diintepretasikan, namun tentu
tidaklah mudah dilakukan, mengingat di era millennium ini, telah terjadi
pergeseran budaya. Tidaklah mengherankan, bila kita melihat bahwa masyarakat
Indonesia kini cenderung pragmatis dalam memandang setiap persoalan. Sebuah
kondisi yang sangat memprihatinkan.
Hedonisme dan Pragmatisme adalah salah satu konsekuensi logis dari sebuah peradaban modern dimana masyarakat cenderung memegang sikap Egois serta Apatis terhadap lingkungan sekitar, itulah sebabnya menanamkan kembali sikap ”setia kawan” hanya dapat dilakukan dengan cara melihat kembali budaya asli Nusantara yang adiluhung.
Hedonisme dan Pragmatisme adalah salah satu konsekuensi logis dari sebuah peradaban modern dimana masyarakat cenderung memegang sikap Egois serta Apatis terhadap lingkungan sekitar, itulah sebabnya menanamkan kembali sikap ”setia kawan” hanya dapat dilakukan dengan cara melihat kembali budaya asli Nusantara yang adiluhung.
C. Kesetiaan yang diharapkan bangsa Indonesia
Sebagai bangsa yang majemuk atau masyarakat
pluralistis beraneka ragam, tentu beraneka ragam pula permasalahannya, misalnya
urusan kehidupan keluarga, di lingkungan masyarakat bahkan kehidupan bernegara.
Hasilnya mungkin membawa kebahagiaan atau sebaliknya.
Salah satu faktor yang mendukung kelestarian dan tercapainya
tujuan kehidupan bersama ialah sikap setia terhadap apa yang telah menjadi
kesepakatan bersama. Demikian pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
diperlukan suatu kesetiaan terhadap bangsa dan negara untuk mempertahankan dan
melestarikan kelangsungan hidup bangsa dan usaha untuk mencapai tujuan
didirikannya negara.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai
kemerdekaan berkat semangat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu,
semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan
dikukuhkan melalui berbagai kegiatan termasuk peringatan HKSN setiap
tahunnya.HKSN yang kita peringati merupakan ungkapan rasa syukur dan hormat
atas keberhasilan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi
berbagai ancaman bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa kita.
Peringatan HKSN yang kita laksanakan setiap tanggal 20 Desember juga merupakan
upaya untuk mengenang kembali, menghayati dan meneladani semangat nilai
persatuan dan kesatuan, nilai kegotong-royongan, nilai kebersamaan, dan nilai
kekeluargaan seluruh rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Saat ini
kita tidak lagi melakukan perjuangan secara fisik untuk mengusir penjajah,
namun yang kita hadapi sekarang adalah peperangan menghadapi berbagai
permasalahan sosial yang menimpa bangsa Indonesia seperti kemiskinan,
keterlantaran, kesenjangan sosial, konflik SARA di beberapa daerah, bencana
alam (gempa bumi, gunung meletus, tsunami, kekeringan, dll), serta
ketidakadilan dan masalah-masalah lainnya.
Sesuai tuntutan saat ini, dengan memperhatikan potensi dan kemampuan bangsa kita, maka peringatan HKSN ( Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional ) ini yang merupakan pengejewantahan dari realisasi konkrit semangat kesetiakawanan sosial masyarakat. Dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai dukungan dan peran aktif dari seluruh komponen/elemen bangsa, bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja melainkan tanggung jawab bersama secara kolektif seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, makna nilai kesetiakawanan sosial sebagai sikap dan perilaku masyarakat dikaitkan dengan peringatan HKSN ditujukan pada upaya membantu dan memecahkan berbagai permasalahan sosial bangsa dengan cara mendayagunakan peran aktif masyarakat secara luas, terorganisir dan berkelanjutan. Dengan demikian kesetiakawanan sosial masih akan tumbuh dan melekat dalam diri bangsa Indonesia yang dilandasi oleh nilai-nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai-nilai kesetiakawanan itu sendiri dalam wawasan kebangsaan mewujudkan kebersamaan : hidup sejahtera, mati masuk surga, bersama membangun bangsa.
Sesuai tuntutan saat ini, dengan memperhatikan potensi dan kemampuan bangsa kita, maka peringatan HKSN ( Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional ) ini yang merupakan pengejewantahan dari realisasi konkrit semangat kesetiakawanan sosial masyarakat. Dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai dukungan dan peran aktif dari seluruh komponen/elemen bangsa, bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja melainkan tanggung jawab bersama secara kolektif seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, makna nilai kesetiakawanan sosial sebagai sikap dan perilaku masyarakat dikaitkan dengan peringatan HKSN ditujukan pada upaya membantu dan memecahkan berbagai permasalahan sosial bangsa dengan cara mendayagunakan peran aktif masyarakat secara luas, terorganisir dan berkelanjutan. Dengan demikian kesetiakawanan sosial masih akan tumbuh dan melekat dalam diri bangsa Indonesia yang dilandasi oleh nilai-nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai-nilai kesetiakawanan itu sendiri dalam wawasan kebangsaan mewujudkan kebersamaan : hidup sejahtera, mati masuk surga, bersama membangun bangsa.
Kesetiaan seseorang juga bisa diarahkan pada bangsa dan
negaranya. Ajaran atau paham yang menuntut penyerahan kesetiaan tertinggi pada
negara kebangsaannya disebut Nasionalisme.
Jadi kesetiaan yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Kesetiaan terhadap keutuhan bangsa.
b. Kesetiaan terhadap proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
c. Kesetiaan terhadap Dasar Negara Pancasila.
d. Kesetiaan terhadap tata hukum Indonesia..
a. Kesetiaan terhadap keutuhan bangsa.
b. Kesetiaan terhadap proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
c. Kesetiaan terhadap Dasar Negara Pancasila.
d. Kesetiaan terhadap tata hukum Indonesia..
Contoh meningkatkan kemampuan menciptakan kehidupan yang
berlandaskan prinsip-prinsip kesetiakawanan sosial:
-
|
Membiasakan membantu korban bencana alam. Dalam penjelasan
sebelumnya bahwa kehidupan setiap manusia akan bermakna apabila kehidupannya
berazaskan kebersamaan. Secara kodrati pun manusia selalu dituntut hidup
sebagai makhluk sosial di samping sebagai makhluk individu.Nah, bagaimana
cara atau apa yang seharusnya dilakukan untuk membantu korban bencana alam?
Yang harus dilakukan antara lain:
a.
Bantulah dengan ikhlas tanpa mengharapkan
imbalan atau mempertimbangkan untung ataupun rugi.
b.
Membantu sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
c.
Jangan menyinggung perasaan orang yang
tertimpa musibah.
d.
Bersikap sabar serta lembut dalam bertutur
kata.
e.
Jika bisa dahulukan mana yang bisa
diprioritaskan.
f.
Bantuan diusahakan yang bersifat mendidik.
|
-
|
Ikut bekerjasama untuk kepentingan umum.
Contoh perbuatan yang dilakukan seperti:
a.
Kerja bakti di lingkungan RT, misal
membersihkan got, membersihkan tempat ibadah.
b.
Kerja bakti atau gotong-royong membangun
jalan, jembatan.
c.
Menjaga fasilitas umum dan lain sebagainya.
|
-
|
Meningkatkan semangat kekeluargaan.
Untuk meningkatkan semangat kekeluargaan nilai-nilai kesetiakawanan atau kerjasama dapat diterapkan melalui bentuk-bentuk kegiatan. Contoh:
Di lingkungan keluarga, bentuk kegiatannya seperti:
- Makan bersama dengan seluruh anggota keluarga. - Beribadah bersama. - Silaturahmi kepada sanak famili dan lain sebagainya.
Di lingkungan sekolah, bentuk kegiatannya seperti:
- Membentuk kelompok belajar. - Mengumpulkan dana untuk menolong orang lain yang mengalami musibah. - Kerja bakti. - Bakti sosial dan lain sebagainya. |
D. KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI GERAKAN NASIONAL
Peringatan HKSN menjadi momentum yang sangat strategis
sebagai upaya untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kesetiakawanan sosial
sebagai suatu gerakan nasional sesuai dengan kondisi dan tantangan jaman,
kesetiakawanan sosial yang menembus baik lintas golongan dan paradaban maupun
lintas SARA harus terus menggelora terimplementasi sepanjang masa, dengan
demikian akan berwujud ”There is No Day Whithout Solidarity” (tiada hari tanpa
kesetiakawanan sosial), kesetiakawanan sosial tidak berhenti pada harinya HKSN
yang diperingati setiap tanggal 20 Desember di Tingkat Pusat, Provinsi dan
Kab/Kota serta oleh seluruh lapisan masyarakat berkelanjutan selamanya dan
sepanjang masa.
Kesetiakawanan sosial sebagai pengejewantahan dari sikap, perilaku dan jati diri bangsa Indonesia akan dapat menjadi modal yang besar dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini secara bertahap untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh tanah air, apabila nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai kesetiakawanan itu melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesetiakawanan sosial sebagai pengejewantahan dari sikap, perilaku dan jati diri bangsa Indonesia akan dapat menjadi modal yang besar dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini secara bertahap untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh tanah air, apabila nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai kesetiakawanan itu melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
E. Nilai moral kesetiakawanan sosial
Kesetiakawanan sosial (solidaritas sosial) adalah perasaan seseorang yang bersumber dari rasa cinta kepada kehidupan bersama sehingga diwujudkan dengan amal nyata berupa pengorbanan dan kesediaan menjaga, membela, maupun melindungi terhadap kehidupan bersama.
Kesetiakawanan sosial (solidaritas sosial) adalah perasaan seseorang yang bersumber dari rasa cinta kepada kehidupan bersama sehingga diwujudkan dengan amal nyata berupa pengorbanan dan kesediaan menjaga, membela, maupun melindungi terhadap kehidupan bersama.
Dari pengertian kesetiakawanan tersebut kita bisa merasakan
atau menilai rasa kemanusiaan seseorang. Rasa kesetiakawanan bermakna:
1.
Kepentingan pribadi tetap diletakkan dalam
kerangka kesadaran kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan
bermasyarakat.
2.
Kewajiban terhadap masyarakat dan bangsa
dirasakan lebih besar dari kepentingan pribadinya.
Adapun nilai moral yang terkandung dalam kesetiakawanan
sosial diantaranya sebagai berikut:
1.
Tolong menolong. Nilai moral ini tampak dalam
kehidupan masyarakat, seperti: tolong menolong sesama tetangga. Misalnya
membantu korban bencana alam atau menengok tetangga yang sakit.
2.
Gotong-royong, misalnya menggarap sawah atau
membangun rumah.
3.
Kerjasama. Nilai moral ini mencerminkan sikap
mau bekerjasama dengan orang lain walaupun berbeda suku bangsa, ras, warna
kulit, serta tidak membeda-bedakan perbedaan itu dalam kerjasama.
4.
Nilai kebersamaan. Nilai moral ini ada karena
adanya keterikatan diri dan kepentingan kesetiaan diri dan sesama, saling
membantu dan membela. Contohnya menyumbang sesuatu ke tempat yang mengalami
bencana, apakah itu kebanjiran, kelaparan atau diserang oleh bangsa lain.
Kesetiakawanan terkikis zaman
Gagasan kesetiakawanan berawal dari solidaritas kerakyatan
dan kebangsaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Solidaritas muncul karena
kesamaan nasib (sejarah), kesamaan wilayah (teritorial), kesamaan kultural, dan
bahasa. Menurut Ernest Renan [1823-1892], semua itu merupakan modal untuk
membentuk nation. Kesadaran kebangsaan memuncak seiring deklarasi Sumpah Pemuda
1928. Sebuah semangat mengubah ”keakuan” menjadi ”kekamian” menuju ”kekitaan”.
Selanjutnya, kesetiakawanan sosial nasional tumbuh kuat
karena faktor penjajahan. Dalam hal ini, kesetiakawanan mengejawantah dalam
perjuangan mengusir penjajahan, baik masa prakemerdekaan maupun
pascakemerdekaan. HKSN sendiri bermula dari semangat solidaritas nasional
antara TNI dan rakyat dalam mengusir Belanda yang kembali pada 19 Desember
1948. Akhirnya kebersamaan yang dilandasi semangat rela berkorban dan
mengutamakan kepentingan bangsa menjadi senjata ampuh untuk memerdekakan
bangsa.
Namun, fakta lain menunjukkan, nilai-nilai kesetiakawanan
kian terkikis. Saat ini solidaritas itu hanya muncul di ruang politik dengan
semangat membela kepentingan masing-masing golongan. Menguat pula solidaritas
kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme. Di bidang ekonomi,
nilai solidaritas belum menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural,
institusional, maupun personal.
Menguatnya kesenjangan di berbagai ruang publik merupakan
indikator melemahnya kesetiakawanan sosial. Basis-basis perekonomian dikuasai
segelintir orang yang memiliki berbagai akses. Juga terjadi kesenjangan
antarwilayah, antara pusat dan daerah, antarpulau, antaretnik, dan
antargolongan.
Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (2006), ada tiga
hal yang menggerus nilai kesetiakawanan sosial. :
1. Pertama, menguatnya semangat
individualis karena globalisasi. Gelombang globalisasi dengan paradigma
kebebasan, langsung atau tidak, berdampak pada lunturnya nilai-nilai kultural
masyarakat.
2. Kedua, menguatnya identitas komunal dan kedaerahan. Akibatnya,
semangat kedaerahan dan komunal lebih dominan daripada nasionalisme.
3. Ketiga, lemahnya otoritas kepemimpinan. Hal ini terkait
keteladanan para kepemimpinan yang kian memudar. Terkikisnya nilai
kesetiakawanan menimbulkan ketidakpercayaan sosial, baik antara masyarakat dan
pemerintah maupun antara masyarakat dan masyarakat, karena terpecah dalam aneka
golongan.
F. Menemukan
kembali kesetiakawanan
Dalam perjalanan sejarah, kita memerlukan momentum untuk
membangkitkan semangat dan daya implementasi baru. Di tengah krisis finansial
global, mungkin sudah saatnya menemukan kembali nilai-nilai kesetiakawanan
sosial guna menjawab aneka masalah kebangsaan.
Saatnya kita menumbuhkan apa yang disebut Komaruddin Hidayat
(2008) grand solidarity untuk kemudian diaplikasi ke dalam grand reality. Grand
solidarity adalah rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, yang didasarkan atas
spirit, tekad, dan visi yang diajarkan founding father’s. Adapun grand reality
adalah upaya untuk mengaplikasi masa lalu ke konteks masa kini. Pada level
praksis, program-program pembangunan harus dilandasi semangat kesetiakawanan
yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan. Pemerintah wajib memberi umpan
(akses permodalan), memandu bagaimana cara memancing (akses SDM), menunjukkan
di mana memancingnya (akses teknologi dan informasi), serta menunjukkan di mana
menjual ikannya (akses market).
Di tingkat masyarakat, dapat ditradisikan satu orang kaya
yang tinggal di permukiman miskin membantu orang miskin. Inilah yang disebut
kepedulian sosial. Jika hal ini dilakukan secara simultan, akan tercipta
keharmonisan di tingkat negara maupun kehidupan masyarakat.
Maka, inilah saatnya kita menemukan kembali solidaritas
sosial nasional dan jati diri bangsa. Kita harus menumbuhkan semangat
kebersamaan dan kepedulian dalam menghadapi tantangan kebangsaan.
Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa
yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang
kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus”
dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu
yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan
“payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan
keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.
Peristiwa 49 tahun yang lalu, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarahyang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Peristiwa 49 tahun yang lalu, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarahyang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Ketika baru saja berhasil menumpas Pemberontakan PKI Madiun,
secara mendadak Belanda melancarkun aksi militernya yang kedua, 19 Desember
1945. Dengan taktik “perang kilat”,
Belanda melancarkan serangan di semua front wilayah Republik Indonesia.
Pangkalan Maguwo Yogyakarta menjadi basis serangan hingga akhirnya berhasil menduduki
ibukota Yogyakarta. Prajurit RI bergerak mundur dengan siasat gerilya. Jenderal
Soedirman sebagai pemegang komando tak henti-hentinya memberikan “suntikan” dan
kekuatan batin kepada seluruh rakyat dan prajurit RI. Dengan semangat setia kawan yang
tinggi, seluruh rakyat dan
prajurit kita terus berjuang, bahu-membahu, saling rangkul, dan saling
berkorban dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Dalam situasi yang sulit dan tidak menentu, akhirnya secara
bertahap bangsa kita mampu membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia
masih eksis. Dan puncaknya terjadi ketika terjadi Serangan Umum 1 Marei 1949 di
bawah pimpinan Komandan Brigade X, l.etkol Soeharto (mantan Presiden Rl) yang
berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Sukses tersebut jelas akan sulit
diraih tanpa internalisasi dan sikap apresiatif terhadap nilai kesetiakawanan sosial, di
samping kecekatan dan kemampuan para pemimpin dalam menyiasati situasi
Rasa Kemanusiaan
Kini, masa-masa semacam itu sudah jauh melewat. Perjuangan fisik telah mengalami “transfigurasi” dalam bentuk kesuntukan memacu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam keadaan demikian, kita justru harus semakin merapatkan barisan dalam suasana egaliter, rnengukuhkan tali persaudaraan, menebalkan rasa kemanusiaan, menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama, dan mengakarkan nilai kesalehan pribadi maupun sosial, dalam gerak dan langkah hidup kita agar “sukma” kesetiakawanan senantiasa menjadi basis komunitas sosial kita.
Kini, masa-masa semacam itu sudah jauh melewat. Perjuangan fisik telah mengalami “transfigurasi” dalam bentuk kesuntukan memacu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam keadaan demikian, kita justru harus semakin merapatkan barisan dalam suasana egaliter, rnengukuhkan tali persaudaraan, menebalkan rasa kemanusiaan, menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama, dan mengakarkan nilai kesalehan pribadi maupun sosial, dalam gerak dan langkah hidup kita agar “sukma” kesetiakawanan senantiasa menjadi basis komunitas sosial kita.
Di penghujung tahun 1997 ini, negeri kita “digoyang” oleh
serentetan “tragedi dramatis” yang mengundang keprihatinan banyak kalangan.
Kebakaran hutan, kelaparan, dan gejolak moneter, merupakan tiga “lakon” yang
tengah menguji “akting” sosial kita
terhadap para korban.
Saudara-saudara kita di Lampung, Irian Jaya, dan sebagian
Jawa, sangat membutuhkan uluran tangan kita untuk menyantuni mereka sekadar
untuk bisa bertahan hidup. Rasa kemanusiaan kita
benar-benar diuji. Kalau selama ini kita terus bersikutat untuk menumpuk-numpuk
harta, sikut sana sikut sini untuk memanjakan naluri kesenangan dan
kepangkatan, bahkan tidak jarang harus membudayakan upeti dan amplop dalam
memuaskan kebuasan hati, saudara-saudara kita justru memeras keringat, air
mata, bahkan darah, untuk bisa “survive” mempertahankan nyawanya.
Akselerasi pembangunan yang telah mampu menjangkau
kemakmuran dan tingkat taraf hidup yang memadai, harus kita syukuri dengan
banyak menyantuni kaum dhuafa yang nasibnya kurang beruntung. Pemerintah lewat
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) — yang dirimis sejak awal Repelita VI
–setidaknya telah memberikan “patron” yang nyata dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang
melilit sebagian saudara kita. Jika pada tahun 1976 jumlah penduduk yang miskin
masih sebesar 40 persen atau sekitar 54,2 juta orang, pada tahun 1993 telah
berkurang menjadi 14 persen atau 25,9 juta jiwa, dan pada tahun 1996 tinggal
11,3 persen atau sekitar 22,6 juta orang. Upaya pengentasan kemiskinan ini
jelas memerlukan kepedulian kita semua, bukan sekadar ingin membantu suksesnya
program pemerintah, melainkan justru yang lebih penting “menyelamatkan” mereka
yang dhaif secara ekonomi dari proses segregasi sosial yang
bisa memicu pecahnya konflik, kecemburuan, ataukekerasan sosial.
Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang
berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu
mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup
komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan
frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi
cara yang jitu dan “sah” bagi mereka.
Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang
pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara
diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya
konflik dan kerusuhan semakin terbuka.
Konsumtivisme
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut AE Priyono (1997), ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut AE Priyono (1997), ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.
Merebaknya “doktrin” konsumtivisme ini,
agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup
materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modem,
menurut Hembing Wijayakusuma (1997) telah melupakan satu dari dua sisi yang
membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri
telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan
rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu
pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang
dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api
hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.
Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari
atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi.
Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses”
dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang
merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap
menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap
perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap,
kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang
wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang
tidak wajar menurut etika.
Kesibukan memburu gebyar materi umuk bisa memanjakan selera
dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal.
Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpurkemiskinan,
kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.
Fenomena di atas jelas mengingkari makna kesetiakawanan sosial yang
telah dibangiun para pejuang pada masa revolusi fisik, mengotori kesucian darah
jutaan rakyat yang
telah menjadi “tumbal”
bagi kemakmuran negeri ini.
Sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia,
bagaimana pun harus memiliki good will (kemauan baik) untuk mengondisikan
segala bentukpenyimpangan moral, agama, dan kemanusiaan,
pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah teruji oleh sejarah. Budaya kita
pun kaya akan analogi hidup yang bervisi spiritual dan keagamaan. Jika
kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita gali terus, niscaya akan mampu
menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup, sehingga mampu mewujudkan
paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit, arogan,
dan bar-bar.
Ketika memberikan wejangan kepada para dalang dalam rangka
“Rapat Paripurna PEPADI 1995″ di Jakarta, Presiden Soeharto pernah menggunakan
analogi lakon wayang “Makutha Rama” yang memuat ajaran Asthabrata,
sebuah ajaran luhur tentang perilaku hidup yang pernah diterima Arjuna dari
Begawan Kesawawidhi. Ajaran ini membuat delapan watak alam yang bisa dijadikan
sebagai “simbol moralitas” manusia dalam memperkukuh tali kesetiakawanan sosial akibat
semakin dahsyatnya aruskonsumtivisme, materialisme,
dan hedonisme yang
melanda masyarakat modern.
Pertama, watak bumu, simbol karakter manusia yang mau
memeratakan kekayaannya kepada siapa pun tanpa pilih kasih. Kedua, watak
matahari, mampu memberikan penerangan, kehangatan, dan energi secara merata
kepada mereka yang membutuhkan. Ketiga, watak bulan, mampu membahagiakan orang
lain dengan penuh sentuhan kelembutan cinta dan kasih sayang terhadap sesama.
Keempat, watak angin, bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa
membedakan status, agama, atau ras.
Kelima, watak samudra, mampu menampung keluhan, aspirasi.
dan masukan orang lain dengan tingkat kesabaran yang tinggi. Keenam, watak air,
bersikap adil dan ikhlas, tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan memiliki
semargat persaudaraan yang tinggi terhadap sesama. Ketujuh, watak api, memiliki
kekuatan pelebur yang mampu memecahkan masalah yang muncul. Dan kedelapan,
watak bintang, tegar, tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan
perbuatan tercela.
“Wacana” kesetiakawanan sosial,
agaknya akan tetap penting dan relevan serta kontekstual sepanjang sejarah peradaban
manusia, apalagi ketika zaman yang muncul sudah semakin buram oleh perilaku
manusia yang mengerdilkan nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.
Diperlukan internalisasi dan apresiasi yang tinggi untuk mengaktualisasikannya,
sehingga muncul sikap responsif ketika melihat sesamanya yang terlunta-lunta
dalam kelaparan dan kemiskinan. ***
(Suara Karya, 19 Desember 1997)
(Suara Karya, 19 Desember 1997)
Sumber :